Dalamsituasi ini negara harus hadir karena ini pasti akan menjadi sumber konflik," ujar peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo. M.Ec., Rabu (3/1) di PSKK UGM. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk Hak Atas Air Sebagai Dasar Penyusunan Undang-undang Air Baru yang diselenggarakan
Pemilihanbentuk strategi implementasi kebijakan pemerintah daerah Maluku yang memprioritaskan kepentingan masyarakat adat atas hak informasi, edukasi dan pelayanan kesehatan akan lebih bijak jika menggunakan strategi kebijakan bottomup approach. Kebijakan dimaksud dapat menumbuhkan tingkat partisipasi masyarakat adat karena masyarakat adat
Teknologiinformasi tidak hanya dipakai dalam bidang industri ataupun ekonomi, tetapi juga dibidang pertahanan yang banyak memanfaatkan teknologi informasi untuk proses penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan. Kemajuan teknologi informasi juga menggeser hakekat ancaman yang datang dari negara (state threat) melalui penggunaan senjata
HinggaSenin (16/3), angka infeksi Covid-19 mencapai 173.047 orang di 158 negara. Angka kematian untuk pandemi Covid-19 adalah 6.664 dan pasien yang sudah dinyatakan sembuh menjadi 77.783 orang. Mudahnya penyebaran virus Corona membuat masing-masing negara menerapkan kebijakan lockdown.
Ibukota negara Vietnam adalah . A. Phnom Penh. B. Manila. C. Vientinene. Dari gambar piramida penduduk di atas dapat diketahui kebijakan pemerintah yang tepat adalah A. Pro Natalis. Cara Menggunakan : Baca dan cermati soal baik-baik, lalu pilih salah satu jawaban yang kamu anggap benar dengan mengklik / tap pilihan yang tersedia
Kebijakanpro-natalis dan anti-natalis dari pemerintah; Tingkat aborsi; anak-anak dapat dijadikan sumber ekonomi pada negara berkembang karena mereka bisa menghasilkan uang (tenaga kerja anak) Apabila mayoritas masyarakat kita sudah menerapkan program ini, maka akan terciptanya awal kehidupan yang sejahtera dalam lingkungan masyarakat
ojTTZ. Each country always tries to protect public health, one of which is by implementing trade barriers. Even during the current Covid-19 pandemic, many countries have imposed barriers to trade by issuing import and export restrictions and prohibitions on certain products. Trade barriers carried out by these countries certainly negatively impact supply chains during the pandemic and put countries that depend on the supply of imported goods in a difficult position in dealing with the health of their people. The WTO does not allow countries to apply barriers to trade. But on the other hand, the state is faced with the obligation to protect public health from the threat of transboundary disease transmission. This study aims to analyze the application of barriers to trade regulations related to the protection of public health from the perspective of international trade law. This type of research is doctrinal research with a legal approach. The author examines international conventions related to the problem so that it is known that the WTO allows the application of trade barriers to protect health. One of them refers to Article XX b of the GATT 1994. However, its implementation must comply with WTO provisions. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum ISSN 1858-1099 p; 2654-3559 e June 2021, DOI 71 Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health Perspektif Hukum Perdagangan Internasional Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya Email Abstract Each country always tries to protect public health, one of which is by implementing trade barriers. Even during the current Covid-19 pandemic, many countries have imposed barriers to trade by issuing import and export restrictions and prohibitions on certain products. Trade barriers carried out by these countries certainly negatively impact supply chains during the pandemic and put countries that depend on the supply of imported goods in a difficult position in dealing with the health of their people. The WTO does not allow countries to apply barriers to trade. But on the other hand, the state is faced with the obligation to protect public health from the threat of transboundary disease transmission. This study aims to analyze the application of barriers to trade regulations related to the protection of public health from the perspective of international trade law. This type of research is doctrinal research with a legal approach. The author examines international conventions related to the problem so that it is known that the WTO allows the application of trade barriers to protect health. One of them refers to Article XX b of the GATT 1994. However, its implementation must comply with WTO provisions. Key Words Barriers to trade, Public Health, World Trade Organization, International Trade Law Abstrak Setiap negara selalu berupaya dengan berbagai cara untuk melindungi kesehatan masyarakat public health, salah satunya dengan menerapkan barriers to trade. Saat pandemi Covid-19 sekarang pun, banyak negara yang memberlakukan barriers to trade dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan impor dan ekspor terhadap produk-produk tertentu. Barriers to trade yang dilakukan oleh negara-negara ini tentu berakibat buruk pada rantai pasokan di masa pandemi dan menempatkan negara-negara yang bergantung pada pasokan barang impor berada pada posisi yang tidak mudah dalam menangani kesehatan masyarakatnya. Pada dasarnya, WTO tidak mengizinkan negara untuk menerapkan barriers to trade. Tetapi disisi lain negara dihadapkan pada kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap public health dari ancaman penularan penyakit lintas batas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan regulasi barriers to trade terkait perlindungan public health dalam perspektif hukum perdagangan internasional. Tipe penelitian ini adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan undang-undang. Penulis menelaah konvensi-konvensi internasional terkait permasalahan sehingga diketahui bahwa WTO mengizinkan penerapan hambatan perdagangan untuk melindungi kesehatan. Salah satunya mengacu pada Pasal XX b GATT 1994. Namun dalam penerapannya harus sesuai dengan ketentuan WTO. Kata Kunci Barriers to trade; Public Health; World Trade Organization; Hukum Perdagangan Internasional 72 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. Pendahuluan Dalam era liberalisasi perdagangan, peluang pasar bagi seluruh negara anggota World Trade Organization WTO semakin terbuka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasionalnya di level internasional melalui ekspor dan impor. WTO terus mendorong arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan barriers to trade yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Pengurangan dan penghapusan barriers to trade tersebut memperluas kesempatan pasar bagi setiap negara. Hal ini dapat meningkatkan devisa negara, menstimulasi produktivitas barang dan jasa, adanya global value chains, kebutuhan antarnegara saling terpenuhi, hubungan antarnegara menjadi lebih erat, dan lain sebagainya. Pengurangan dan penghapusan barriers to trade memang memberikan keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Namun, aktivitas perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara-negara di dunia tidak selalu berjalan mulus. Terdapat negara terpaksa memberlakukan barriers to trade untuk melindungi kepentingan negaranya. Barriers to trade dikelompokkan menjadi menjadi hambatan tarif tariff barrier dan hambatan bukan tarif non-tariff barrrier. Tariff barrier adalah pajak, bea masuk, atau pungutan yang diterapkan oleh suatu negara berkaitan dengan ekspor dan impor. Non-tariff barrrier adalah kebijakan selain pajak, bea masuk, atau pungutan yang diterapkan oleh suatu negara yang dapat menimbulkan distorsi sehingga mengurangi potensi manfaat dari perdagangan internasional. Pasal XI ayat 1 General Agreement on Tariffs and Trade GATT 1994 menyatakan bahwa, “no prohibitions or restrictions other than duties, taxes, or other charges, whether made effective through quotas, import or export licenses, or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa negara anggota WTO tidak boleh menerapkan non-tariff barrrier seperti larangan atau pembatasan kuantitatif, kuota, izin ekspor maupun impor, serta kebijakan selain pajak, bea masuk, atau pungutan. Pada prinsipnya, negara anggota WTO tidak boleh memberlakukan non-tariff barrrier. Namun, terdapat pengecualian di mana non-tariff barrrier dapat diterapkan oleh negara anggota WTO sebagaimana diatur dalam Pasal XX GATT 1994. Salah satu alasan pengecualian yang sangat penting adalah kesehatan manusia. Negara anggota WTO dapat memberlakukan non-tariff barrrier apabila hal tersebut bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat public health di negaranya. Hal ini dikarenakan penyebaran virus atau penyakit dapat menular dengan mudah tidak hanya melalui manusia saja, melainkan juga melalui barang dan hewan yang keluar masuk dari satu negara ke negara lainnya. Sepanjang sejarah telah tercatat bahwa banyak penyakit yang awal mulanya hanya mewabah pada wilayah tertentu, tetapi dapat berpotensi menyebar dengan cepat hingga lintas batas negara. Salah satu penyebab penyebaran penyakit tersebut yaitu melalui aktivitas perdagangan dan adanya peningkatan perjalanan manusia melalui lintas batas Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 73 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 khususnya dalam skala internasional. Penyakit lintas batas ini disebabkan karena manusia dan hewan merupakan agen pembawa penyakit carrier yang sangat diminati oleh virus untuk tumbuh dan berkembang biak. Sehingga tidak heran jika meningkatnya lalu lintas barang dan orang dapat meningkatkan pula penyebaran penyakit kepada manusia atau hewan lainnya. Penyebaran virus yang menimbulkan penyakit melalui aktivitas perdagangan internasional menimbulkan tantangan tersendiri pada negara, seperti penyakit new emerging dan re-emerging. Ditambah semakin meningkatnya perdagangan lintas batas yang terjadi dewasa ini juga memungkinkan untuk semakin meningkatnya penyebaran penyakit baru yang muncul melalui banyak jalur, baik informal atau formal. Dampaknya banyak negara yang mengalami gangguan kesehatan masyarakat public health sehingga penyakit tersebut dapat berujung pada pandemi global. Penyakit-penyakit lintas batas negara yang menyebar melalui aktivitas perdagangan internasional sehingga menyebabkan pandemi global, contohnya flu spanyol yang merupakan pandemi penyakit influenza paling mematikan di dunia, pandemi cacar yang disebabkan oleh virus varicella-zozter yang penyebarannya berlangsung secara aerogen atau menggunakan udara sebagai perantara, virus H5N1 flu burung yang sangat patogen pada tahun 2005 sampai 2012, hingga saat ini dunia dihebohkan dengan cepatnya penyebaran Corona Virus Disease 2019 Covid-19 yang terjadi pada akhir 2019. Mengingat bahwa dalam masa pandemi penyakit atau virus dapat menular dan meluas melalui aktivitas pedagangan internasional, sehingga mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan dan kesehatan masyarakatnya dari ancaman virus dan penyakit selama masa pandemi. Disamping bahwa memperoleh kesehatan dan keselamatan serta terlindung dari penyakit adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi, maka negara memiliki kewajiban untuk meminimalisir dampak yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan masyarakat. Setiap negara selalu berupaya dengan berbagai cara untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, salah satunya dengan menerapkan barriers to trade. Saat pandemi Covid-19 sekarang pun, banyak negara yang memberlakukan barriers to trade. Beberapa negara juga mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan impor terhadap produk-produk tertentu. Contohnya Kamboja yang melarang impor sementara daging beku dan produk beku lainnya dari India. Tidak hanya larangan terhadap impor, negara-negara juga banyak yang memberlakukan pembatasan dan larangan ekspor. Hingga 18 November 2020, tercatat kurang lebih 98 negara yang telah mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan ekspor. Mayoritas produk ekspor yang dibatasi dan dilarang oleh negaranya adalah barang-barang medis seperti Alat Pelindung Diri APD, masker, sarung tangan, alat bantu pernapasan dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa negara juga melarang ekspor bahan-bahan pangan. Seperti yang dilakukan oleh Kyrgyzstan yang melarang ekspor ternak hidup, ternak unggas, dan produk-produk pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa barriers to trade tidak hanya diberlakukan pada barang-barang impor karena dikhawatirkan dapat menyebarkan penyakit, tetapi juga pada barang-barang dalam negeri yang dilarang untuk diekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pembatasan juga dilakukan oleh hampir semua negara pantai terhadap akses pelabuhan ke kapal kargo. Padahal lebih dari 90% perdagangan internasional dilakukan melalui laut. 74 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Barriers to trade yang dilakukan oleh negara-negara ini tentu berakibat buruk pada rantai pasokan di masa pandemi dan menempatkan negara-negara yang bergantung pada pasokan barang impor berada pada posisi yang tidak mudah dalam menangani kesehatan masyarakatnya. Oleh karena itu, negara tidak dapat secara terus-menerus melakukan barriers to trade. WTO sebagai organisasi yang mengatur berbagai permasalahan dalam perdagangan internasional pada dasarnya memang tidak mengizinkan bila suatu negara melakukan hambatan pada perdagangan internasional baik pada produk luar negeri yang akan masuk ke dalam wilayahnya atau produk dalam negerinya yang akan dibeli oleh negara lain. Hal ini di dasarkan oleh kondisi bahwa suatu negara tidak dapat benar-benar hidup mandiri. Bahkan setiap negara diwajibkan untuk menghapus barriers to trade, seperti menurunkan tarif, meminimalisir aturan terkait perdagangan internasional, menerapkan prinsip-prinsip WTO, hingga meniadakan restriksi dalam perdagangan internasional. Jika suatu negara memberikan kebijakan terkait pemenuhan standar tinggi dan pembayaran tarif tinggi produk tertentu dari negara anggota lain, maka jelas hal ini merupakan suatu pelanggaran kewajiban negara anggota karena telah melakukan barriers to trade dalam perdagangan internasional dan ini tidak dibenarkan dalam WTO. Tetapi disisi lain negara dihadapkan pada kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap public health dari ancaman penularan penyakit lintas batas. Hasil dan Pembahasan Dalam liberalisasi pasar yang kian meningkat sering kali ditemukan permasalahan baik yang mengancam perekonomian nasional atau mengancam kesehatan dan keselamatan manusia. Terutama pada kondisi dewasa ini, dunia sedang diuji dengan pandemi global yang meresahkan sekaligus menewaskan jutaan orang. Terlebih jika wabah penyakit yang menyebar ke berbagai negara tersebut masih belum ditemukan vaksin atau cara lain untuk mencegah penularannya. Sehingga banyak negara yang melakukan pencegahan melalui perubahan dan modifikasi kebijakan dalam negerinya, terutama kebijakan terkait aktivitas perdagangan internasional. Tujuannya yaitu untuk melindungi kesehatan warga negaranya. Sehingga barriers to trade atau hambatan dalam perdagangan internasional merupakan kebutuhan yang mendesak. Mengingat bahwa setiap negara memiliki kedaulatan sebagai karakter yuridis yang melekat secara mutlak, maka sesungguhnya negara memiliki hak untuk mengatur segala aktivitas yang ada di dalam wilayah negaranya, termasuk mengatur aktivitas perdagangan internasional melalui berbagai kebijakan nasional. Namun dengan catatan bahwa dalam menerapkan kedaulatannya, negara tidak diperkenankan memberlakukan syarat-syarat perdagangan nasionalnya secara ekstra yurisdiksional, sekalipun ini ditujukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Barriers to Trade dalam Sistem Perdagangan Internasional Barriers to trade atau hambatan-hambatan perdagangan internasional secara umum digambarkan sebagai restriksi yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara terhadap aktivitas perdagangan internasional melalui kebijakan nasional tertentu, seperti import duties, import licenses, export lisences, import taxes, quota, tariffs, subsidies, non-tariff barriers, and other non-tariff barriers. Kebijakan nasional terkait perdagangan Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 75 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 internasional pada umumnya ditujukan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, menjaga stabilitas ekonomi nasional, melindungi sumber daya alam, termasuk melindungi kesehatan masyarakat public health. Meski pada prinsipnya hambatan perdagangan adalah sebuah inkonsistensi dari disepakatinya liberalisasi perdagangan, tetapi sebagai organisasi perdagangan internasional yang bertujuan untuk menyejahterahkan negara-negara anggotanya, WTO telah menyediakan ketentuan-ketentuan tertentu yang memberi kelonggaran terkait penerapan hambatan perdagangan internasional. 1. Hambatan Tarif Tariff Barriers Tarif atau yang biasa disebut sebagai custom duties dapat diartikan sebagai suatu pungutan atau pengenaan secara finansial dalam bentuk pajak yang dikenakan pada suatu produk yang melewati batas suatu negara dan pada umumnya tarif dikenakan pada bea masuk dalam kepabeanan sebelum barang tersebut masuk dalam wilayah suatu negara. Tarif juga dapat dikatakan sebagai bea masuk atau pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk kebijakan atas barang yang hendak memasuki wilayah yurisdiksi suatu negara yang berupa ad valorem, spesifik, dan campuran. Dalam melakukan penerapan hambatan berupa tarif, negara tidak dapat menerapkannya apabila negara dalam keadaan baik-baik saja. Hambatan tarif diperbolehkan hanya jika suatu negara ingin melakukan proteksi produsen atau industri dalam negeri dengan alasan apabila tidak dilakukan proteksi akan mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Dalam penerapannya, hambatan berupa tarif tidak dapat diterapkan sebebas-bebasnya dan semena-mena karena dalam pengaturan WTO terutama dalam hal kelonggaran tarif dan peningkatan tarif hanya dapat disetujui dalam konteks negosiasi. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal XXVIII GATT, jika suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif, ia tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah disepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian kompensasi dengan para mitra dagangnya. Berdasarkan tujuannya, hambatan berupa tarif diklasifikasikan menjadi dua, yaitu; a. Tarif proteksi, yaitu pengenaan tarif melalui bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi impor barang tertentu. b. Tarif revenue, yaitu pengenaan hambatan tarif melalui bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Berdasarkan tujuan tersebut, beberapa fungsi pemberlakuan tarif adalah sebagai berikut a. Fungsi regulend, yaitu melindungi kepentingan ekonomi dalam negeri. b. Fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan negara. c. Fungsi pemerataan, yaitu meratakan distribusi pendapatan nasional. Pada dasarnya tarif merupakan hambatan yang disarankan oleh WTO apabila suatu negara hendak menerapkan hambatan perdagangan internasional guna melindungi industri atau pordusen dalam negeri dan untuk menambah pemasukan bagi negara yang bersangkutan, hal ini dikarenakan tarif sifatnya lebih transparan. GATT memperbolehkan suatu negara untuk menerapkan hambatan tarif dan tidak melalui hambatan lainnya karena dengan hambatan tarif masih dimungkinkan adanya kompetisi yang sehat dan 76 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 untuk mengurangi distorsi perdagangan yang mungkin timbul saat hambatan diterapkan. Terdapat jenis-jenis tarif yang dikenal dalam WTO, yaitu a. Tarif ad valorem, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan nilai barang impor. Besarannya dihitung dari nilai impor barang dan dinyatakan dalam persentase. Negara anggota yang mengadopsi jenis tarif ini harus memperhatikan Perjanjian WTO tentang Penilaian Pabean dalam menentukan nilai untuk menerapkan tarif yang dimaksud. b. Tarif khusus, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan unit pengukuran dari barang impor seperti berat produk, volume produk, ataupun jumlah produk. c. Tarif campuran, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan nilai barang impor ad valorem atau berdasarkan unit pengukuran dari barang impor tarif khusus karena barang dapat dihitung berdasarkan kedua jenis tarif tersebut. Biasanya tarif yang dipilih adalah bea masuk yang lebih tinggi. d. Tarif compound, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan penambahan besaran tarif ad valorem dengan tarif khusus. Negara cenderung menggunakan jenis tarif ini untuk barang-barang yang dianggap sebagai produk yang sensitif atau sangat sensitif. Contohnya suatu negara mengategorikan gula, beras, susu, dan daging sebagai produk sensitif atau sangat sensitif, maka tarif yang berlaku bagi produk-produk tersebut adalah tarif compound. e. Tarif teknis, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan komponen tertentu dari suatu barang impor. Meskipun tarif diperkenankan sebagai hambatan perdagangan internasional, tetapi dalam aplikasinya harus tetap tunduk dan komitmen pada GATT. Maksudnya yaitu tingkat tarif yang diterapkan oleh suatu negara terhadap negara lainnya harus berdasar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam GATT, seperti tidak boleh bersifat diskriminatif dan harus menerapkan prinsip transparansi. Karena prinsip-prinsip ini merupakan kunci bagi prasyarat dalam penerapan perdagangan internasional yang pasti predictable. 2. Hambatan Nontarif Non-Tariff Barriers to trade Hambatan nontarif merupakan suatu bentuk hambatan perdagangan berupa selain tarif yang dikenakan terhadap suatu barang dalam perdagangan internasional yang dapat memengaruhi akses masuk barang ke dalam pasar domestik negara tujuan. Hambatan nontarif dapat dikatakan sebagai upaya untuk melakukan control terhadap perdagangan internasional. Hambatan nontarif pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu quantitative restriction dan other non-tariff barriers. Hambatan nontarif berupa quantitative restriction yang sering diterapkan oleh negara dapat berupa; a. Kuota/quota, yaitu tindakan suatu negara yang membatasi masuk atau keluarnya barang kedalam pasar domestiknya. Penetapan kuota dapat ditetapkan secara global, yaitu pada semua negara-negara anggota WTO, maka dinamakan sebagai global kuota. Sedangkan kuota juga dapat ditetapkan hanya pada negara tertentu melalui perjanjian bilateral bilateral quota. b. Pelarangan/prohibition, yaitu pelarangan suatu produk untuk bisa masuk pasar domestik di negara tujuan. Pelarangan ini dapat dikenakan secara absolut atau Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 77 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 kondisional. Diterapkan secara kondisional apabila produk tersebut telah berhasil mealui ketentuan atau syarat tertentu yang ditetapkan negara tujuan. c. Hambatan lisensi, hambatan terkait lisensi dapat dibedakan menjadi automatic license, yaitu sebuah lisensi impor yang mana aplikasi atau permohonannya dapat dikabulkan secara langsung oleh pemerintah. Selanjutnya hambatan lisensi berupa non-automatic license, yaitu lisensi impor yang tidak secara otomatis dikabulkan atau bahkan tidak dapat dikabulkan oleh pemerintah. d. Pembatasan eksport sukarela. Dalam penerapan hambatan other non-tariff barriers atau hambatan nontarif lainnya biasanya digunakan pada produk atau barang tertentu. Dalam penerapannya, other non-tariff barriers dibagi menjadi tiga, yaitu; a. SPS and TBT Measure, yaitu hambatan yang berkenaan dengan ketentuan terhadap suatu produk tertentu sebelum produk tersebut dapat masuk pada suatu yurisdiksi negara. SPS Santiary and Phytosanitary Measure adalah tindakan perdagangan internasional berupa sanitasi dan fitosanitasi terkait produk pertanian yang ditetapkan oleh suatu Negara. Sedangkan TBT Technical Barriers to trade Measure merupakan hak yang dapat dilakukan oleh negara anggota WTO untuk menetapkan standar teknis terhadap semua produk termasuk produk terkait industri dan pertanian. b. Pre-Shipment Inspection Pemeriksaan Pra-Pengapalan merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap suatu produk sebelum memasuki pasar dalam negeri untuk memastikan bahwa produk-produk tersebut telah memenuhi standar yang ditetapkan suatu negara. c. Mark of Origin Pada dasarnya penerapan hambatan nontarif lebih tidak disarankan dalam perdagangan internasional, utamanya hambatan pembatasan kuantitaif quantitative restriction. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal IX GATT yang mengatur bahwa WTO melarang anggotanya menerapkan hambatan perdagangan seperti pembatasan kuota impor dan ekspor atau hambatan secara keseluruhan terhadap produk ekspor dan impor, baik itu melalui kebijakan izin impor atau ekspor dan kebijakan lainnya. Hal ini dikarenakan tindakan hambatan perdagangan yang berkaitan dengan tindakan pembatasan kuantitatif quantitative restriction jika diterapkan dapat menghambat jalannya perdagangan internasional yang normal. Sebagai contoh dalam sengketa antara India v. Turki Turkey- Restrictions on Imports of Textile and Clothing Products Tahun 1999, Panel menyatakan bahwa WTO hanya memperbolehkan negara anggota menerapkan hambatan berupa tarif sebagai satu-satunya pilihan dalam melindungi produk domestiknya. Pembatasan kuota atau jumlah produk baik ekspor atau impor terutama ke dalam pasar domestik juga dilarang dalam Pasal XI GATT 1994. Pengaturan Perlindungan Public Health dalam Perdagangan Internasional Kesehatan masyarakat atau public health adalah seni dan ilmu mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui upaya-upaya terorganisasi 78 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 yang dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat, organisasi, komunitas, maupun individu. Public health merupakan bagian inti dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Public health berfungsi sebagai intervensi kesehatan yang berfokus pada berbagai determinan atau penyebab tidak langsung. Intervensi terhadap determinan memiliki arti mengurangi risiko penyakit risk reduction. Fungsi public health juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi ancaman penyakit-penyakit yang akan terus meningkat. Oleh karena itu, public health perlu melibatkan multisektoral dalam melaksanakan mitigasi, perencanaan dan intervensi untuk mencegah dan menangani penyebaran penyakit. Salah satunya sektor yang mempengaruhi public health adalah perdagangan internasional. Aktivitas perdagangan internasional yang melewati lintas batas negara berpotensi menyebarkan penyakit. Banyak penyakit yang awalnya hanya mewabah di wilayah tertentu, kemudian menyebar dengan cepat ke wilayah lain. Ketika aktivitas perdagangan internasional berlangsung, manusia dan juga hewan merupakan agen pembawa penyakit carrier yang sangat diminati oleh virus untuk tumbuh dan berkembang biak. Sehingga, tidak heran jika meningkatnya lalu lintas barang dan orang dapat meningkatkan pula penyebaran penyakit kepada manusia atau hewan lainnya. Beberapa penyakit lintas batas negara yang penyebarannya melalui aktivitas perdagangan internasional sehingga menyebabkan pandemi global adalah flu spanyol yang merupakan pandemi penyakit influenza paling mematikan di dunia yang terjadi pada tahun 1918-1919. Menurut Centers for Disease Control and Prevention CDC, sekitar 500 juta individu atau sepertiga dari populasi dunia terinfeksi virus ini dan menyebabkan setidaknya 50 juta kematian di seluruh dunia. Terdapat pula pandemi cacar yang disebabkan oleh virus varicella-zozter yang penyebarannya berlangsung secara aerogen atau menggunakan udara sebagai perantara. Menurut National Geographic Indonesia, para ahli memercayai bahwa pandemi tertua ini telah mengurangi sebagian populasi penduduk dunia. Muncul pada 300 tahun sebelum Masehi SM-1979 dan telah mengakibatkan korban jiwa sebanyak 300 juta jiwa. Selain itu, virus H5N1 flu burung yang sangat patogen pada tahun 2005 sampai 2012 dan tersebar di 50 negara. Bahkan dewasa ini dunia dihebohkan dengan cepatnya penyebaran Corona Virus Disease 2019 Covid-19 yang terjadi pada akhir 2019. Hingga akhirnya pada 30 Januari 2020 World Health Organization WHO mengumumkan bahwa dunia dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan internasional Public Health Emergency of International Concern akibat Covid-19. Pada tanggal 11 Maret 2020 WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sebagian besar negara dunia telah dinyatakan terinveksi Covid-19. WHO mencatat hingga saat ini ada 215 negara dunia yang terinfeksi virus corona dengan jumlah positif terinfeksi sebanyak juta jiwa dan jumlah kematian pertanggal 7 Mei 2020 sebanyak jiwa di seluruh dunia. Penyebaran virus yang menimbulkan penyakit melalui aktivitas perdagangan internasional menimbulkan tantangan tersendiri pada negara, seperti penyakit new emerging dan re-emerging. Ditambah semakin meningkatnya perdagangan lintas batas yang terjadi dewasa ini juga memungkinkan untuk semakin meningkatnya penyebaran penyakit baru yang muncul melalui banyak jalur, baik informal atau formal. Luasnya batas wilayah dan banyaknya jumlah pintu masuk juga berpengaruh pada risiko Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 79 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 tersebarnya penyakit melalui perdagangan internasional. Dampaknya banyak negara yang mengalami gangguan kesehatan masyarakat public health sehingga penyakit tersebut dapat berujung pada pandemi global. Pada kondisi seperti saat itu, virus menyebar karena kurangnya kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh negara untuk mencegah, mendeteksi dan merespon penyakit. World Health Organization WHO menilai bahwa kesiapan berbagai negara dalam menghadapi ancaman public health adalah kebutuhan mendesak. Banyak negara yang meningkatkan power-nya melalui berbagai kebijakan yang ditetapkan. Negara memperkuat dirinya dan menunjukkan sikap yang koersif pada masyarakat dengan tujuan melindungi kesehatan masyarakat. Salah satunya yaitu melakukan batasan dalam perdagangan internasional melalui hambatan perdagangan internasional. Sebagai contoh pada sengketa US United States dengan EC European Communities mengenai “Hormone Beef”, di mana EC melarang penggunaan hormon pertumbuhan bagi ternak sapi dan melarang impor ternak dari negara lain yang memberikan hormon pertumbuhan. Hal ini dilakukan dengan alasan pemberian hormon pertumbuhan pada ternak sapi dapat mengancam kesehatan masyarakat EC. Tetapi US berpendapat bahwa pemberian hormon pertumbuhan pada ternak sapi adalah aman dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. US menganggap bahwa tindakan EC merupakan hambatan yang terselubung karena EC tidak menyertakan bukti ilmiah dalam penerapan restriksi tersebut. Maka dalam sengketa ini Panel menyatakan bahwa sebuah restriksi pada perdagangan internasional dapat diterapkan tetapi bukan bertujuan untuk hambatan yang terselubung. Saat pandemi Covid-19 sekarang pun, banyak negara yang memberlakukan barriers to trade. Beberapa negara juga mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan impor terhadap produk-produk tertentu. Contohnya Kamboja yang melarang impor sementara daging beku karena pandemi Covid-19. Kementerian Kesehatan Kamboja mengumumkan bahwa daging beku yang diimpor dari India terbukti positif Covid-19, sehingga Kamboja memberlakukan larangan impor sementara daging beku dan produk beku lainnya dari India. Tidak hanya larangan terhadap impor, negara-negara juga banyak yang memberlakukan pembatasan dan larangan ekspor. Karakter virus Covid-19 yang dapat menular melalui cairan dan udara mengakibatkan kenaikan drastis pada permintaan barang-barang medis yang digunakan untuk meminimalisasi terinfeksi Covid-19 dan alat-alat medis lainnya yang digunakan untuk memulihkan pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Hingga 18 November 2020, tercatat kurang lebih 98 negara yang telah mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan ekspor. Mayoritas produk ekspor yang dibatasi dan dilarang oleh negaranya adalah barang-barang medis seperti Alat Pelindung Diri APD, masker, sarung tangan, alat bantu pernapasan dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa negara juga melarang ekspor bahan-bahan pangan. Seperti yang dilakukan oleh Kyrgyzstan yang melarang ekspor ternak hidup, ternak unggas, dan produk-produk pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa barriers to trade tidak hanya diberlakukan pada barang-barang impor karena dikhawatirkan dapat menyebarkan penyakit, tetapi juga pada barang-barang dalam negeri yang dilarang untuk diekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 80 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Pembatasan juga dilakukan oleh hampir semua negara pantai terhadap akses pelabuhan ke kapal kargo. Padahal lebih dari 90% perdagangan internasional dilakukan melalui laut. Selain itu, tindakan pembatasan berupa pembedaan kapal berdasarkan kebangsaan atau pertimbangan objektif juga dilakukan oleh hampir semua negara pantai. Contohnya kapal dari negara-negara dengan tingkat kasus positif Covid-19 tinggi tidak diizinkan untuk mengakses pelabuhan. Barriers to trade yang dilakukan oleh negara-negara ini tentu berakibat buruk pada rantai pasokan di masa pandemi dan menempatkan negara-negara yang bergantung pada pasokan barang impor berada pada posisi yang tidak mudah dalam menangani kesehatan masyarakatnya. Oleh karena itu, negara tidak dapat secara terus-menerus melakukan barriers to trade. Selain hal ini menyimpangi prinsip liberalisasi pasar, barriers to trade juga akan memengaruhi perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara, termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonominya dipengaruhi oleh sektor konsumsi dan aktivitas ekspor impor. Barriers to trade baik berupa tariff barriers atau non-tariff barriers bertujuan untuk menciptakan kompetisi pasar yang adil, baik domsetik maupun luar negeri, sehingga mampu terjadi pasar bebas yang kompetitif. Akan tetapi berdasarkan apa yang telah penulis sampaikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa dalam menjamin kesejahteraan negara-negara anggotanya, WTO telah menyediakan peraturan-peraturan berupa hambatan perdagangan yang dapat menjembatani liberalisasi perdagangan apabila terjadi kondisi tertentu dalam suatu negara, termasuk diantaranya terdapat ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hambatan perdagangan sebagai upaya perlindungan kesehatan manusia utamanya pada masa pandemi yang dapat dilakukan dalam aktivitas perdagangan baik barang atau jasa. 1. Perlindungan Public Health dalam Perdagangan Barang Terkait perdagangan barang, setiap negara dapat menerapkan hambatan perdagangan internasional dengan syarat negara tersebut telah memenuhi ketentuan pengecualian yang tertulis dalam GATT 1994. Dalam penerapannya, GATT 1994 memberikan beberapa ketentuan terhadap penerapan hambatan-hambatan perdagangan internasional. Ketika suatu negara telah memenuhi ketentuan dalam salah satu isi Pasal-Pasal tersebut, maka dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban perdagangan internasional dalam WTO. Pasal-Pasal yang dimaksud yaitu Pasal XIX, XX dan XXI. Sedangkan ketentuan yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk melindungi public health dalam perdagangan barang terdapat pada ketentuan umum terkait pengecualian general exception pada Pasal XX GATT 1994. Pasal XX secara keseluruhan menyatakan bahwa subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures; a. necessary to protect public morals; b. necessary to protect human, animal or plant life or health; c. relating to the importations or exportations of gold or silver; Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 81 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 d. necessary to secure compliance with laws or regulations which are not inconsistent with the provisions of this Agreement, including those relating to customs enforcement, the enforcement of monopolies operated under paragraph 4 of Article II and Article XVII, the protection of patents, trade marks and copyrights, and the prevention of deceptive practices; e. relating to the products of prison labour; f. imposed for the protection of national treasures of artistic, historic or archaeological value; g. relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; h. undertaken in pursuance of obligations under any intergovernmental commodity agreement which conforms to criteria submitted to the contracting parties and not disapproved by them or which is itself so submitted and not so disapproved; i. involving restrictions on exports of domestic materials necessary to ensure essential quantities of such materials to a domestic processing industry during periods when the domestic price of such materials is held below the world price as part of a governmental stabilization plan; Provided that such restrictions shall not operate to increase the exports of or the protection afforded to such domestic industry, and shall not depart from the provisions of this Agreement relating to non-discrimination; j. essential to the acquisition or distribution of products in general or local short supply. Pasal XX GATT 1994 memuat berbagai dasar alasan pemberian pengecualian dalam aktivitas perdagangan internasional, salah satunya mengatur keperluan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara spesifik tertulis dalam Pasal XX b GATT. Dalam Pasal XX b GATT 1994, menyatakan bahwa “…necessary to protect human, animal, or plant life or health…” penebalan oleh penulis. Berdasarkan kalimat tersebut terlihat jelas bahwa suatu negara dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban WTO jika memang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dalam negerinya. Bentuk hambatan yang diterapkan tentu dapat disesuaikan dengan kondisi yang diinginkan yang tentunya sesuai dengan aspek kesehatan masyarakat yang ingin dilindungi. Terkait tindakan pengecualian yang dilakukan oleh suatu negara dengan menggunakan dasar hukum Pasal XX b GATT 1994, negara terlebih dahulu harus dapat membuktikan bahwa memang diperlukan tindakan pengecualian dalam rangka melindungi kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan kesehatan. Serta harus dapat membuktikan seberapa perlu hambatan tersebut dilakukan dalam upaya melindungi public health. Dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal XX b, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak boleh sewenang-wenang dan diskriminatif, serta harus dilakukan secara transparan. Serta perlu dilakukan pula penetapan jangka waktu pelaksanaan hambatan-hambatan perdagangan dan mempublikasikan kepada seluruh negara anggota WTO. Tujuannya agar tidak terjadi upaya-upaya hambatan perdagangan yang dilakukan secara terselubung. Salah satu contoh sengketa perdagangan internasional yang berkaitan dengan Pasal XX ayat b terkait public health¸ yaitu dalam sengketa Thailand v. Europian Communities-Asbestos Thailand-Cigarettes. Dalam kasus ini, EC mengajukan gugatan kepada Thailand atas tindakan restriksi perdagangan terkait produk rokok dengan 82 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 alasan untuk menjaga public health. Sayangnya dalam sengketa ini, Panel tidak memberi pertimbangan yang mendalam terkait argumen Thailand bahwa restriksi impor atas rokok adalah untuk melindungi kesehatan public dari bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam rokok yang telah diimpor serta bertujuan untuk membatasi penggunaan rokok di Thailand. Dalam EC-Asbestos, Appellate Body memvalidasi pernyataan EC yang menggunakan dasar hukum Pasal XX ayat b dengan alasan bahwa larangan atas produk chrysotile-cement diperlukan sebagai upaya melindungi kesehatan manusia dan keselamatan jiwa. Pengaturan terkait penangguhan kewajiban negara anggota WTO dengan alasan melindungi public health pada dasarnya sejak awal sudah ditentukan seiring pembentukan GATT 1994. Selain hambatan berupa tarif dan hambatan lain dalam quantitatif restriction, terdapat hambatan lain yang diperbolehkan untuk diterapkan sebagai salah satu bentuk tindakan pengecualian dalam GATT 1994. WTO telah mengaturnya secara lebih khusus, yaitu melalui ketentuan Sanitary and Phytosanitary Agreement SPS Agreement yang dibentuk dalam peristiwa Putaran Uruguay 1994. Serta dalam perjanjian lain yang juga dapat menunjang perlindungan kesehatan manusia melalui suatu produk atau batang yang hendak masuk pasar domestik suatu negara, yaitu melalui ketentuan yang terdapat dalam Technical Barriers to Trade Agreement. 2. SPS Measure sebagai Perlindungan Public Health Latar belakang dibentuknya ketentuan terkait SPS dalam perjalanan putaran Uruguay yaitu untuk mengatur mengenai larangan perdagangan produk untuk melindungi kesehatan di dalam GATT. Dalam praktiknya, SPS memberikan hambatan yang dianggap cukup sulit bagi negara-negara anggota WTO. Hal ini dikarenakan tedapat ketentuan khusus agar suatu negara dapat mengekspor produk kepada negara lain yang menerapkan tindakan SPS. Sebagaimana dituliskan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dalam Pasal Jendela Hukum, menurut Van Den Bossche, tujuan diaturnya ketentuan1 terkait SPS yaitu untuk menjaga keseimbangan antara tujuan dilaksanakannya pasar bebas dengan hak suatu negara dalam rangka menerapkan perlindungan kesehatan bagi warga negaranya. Sebagaimana terlampir dalam Annex A angka 1 SPS Agreement, suatu negara dapat melakukan tindakan terkait SPS apabila tindakan tersebut bertujuan untuk; a. Melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tanaman yang ada di wilayah teritorial negara anggota dari risiko terpapar penyakit, hama, penyakit yang dibawa oleh organisme atau disebabkan oleh organisme dari binatang atau tanaman impor yang masuk ke wilayahnya; b. Melindungi kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan yang ada di wilayah teritorial negara anggota dari risiko yang disebabkan oleh zat aditif, kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang ada dalam makanan, minuman, atau bahan makanan; c. Melindungi kehidupan dan kesehatan manusia yang ada di wilayah teritorial anggota WTO dari risiko terpapar penyakit yang dibawa oleh hewan, tanaman atau produk olahan hewan dan tanaman, atau penyebaran hama yang masuk ke wilayahnya; Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 83 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 d. Mencegah atau membatasi kerugian yang disebabkan oleh penyebaran hama yang berasal dari tanaman yang masuk ke wilayah teritorial negara anggota. Dalam SPS Agreement tindakan yang dikhususkan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia terdapat dalam huruf b dan c SPS Agreement. Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam huruf b dan c SPS Agreement, maka suatu negara yang hendak melindungi public health selain menerapkan hambatan perdagangan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, negara anggota WTO juga dapat menerapkan tindakan SPS. Setiap negara yang melakukan kebijakan pembatasan berdasarkan SPS Agreement dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat hendaknya tindakan tersebut tidak dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi terhadap negara anggota lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan subjektif atau pembatasan perdagangan yang terselubung. Serta dalam melakukan kebijakan terkait SPS Agreement, negara anggota wajib memastikan bahwa setiap tindakan-tindakan SPS didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang sesuai dengan standar internasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 SPS Agreement. Dalam Pasal 3 SPS Agreement juga menetapkan ketentuan bahwa setiap negara yang menerapkan SPS hendaknya tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan standar, panduan dan rekomendasi internasional dalam hal tindakan tersebut diatur secara internasional. Selain itu juga diwajibkan untuk melakukan penilaian risiko dan menentukan tingkat perlindungan terkait penetapan kebijakan SPS. Tujuannya agar tidak terjadi hambatan SPS yang berlebihan sehingga disalahgunakan sebagai hambatan perdagangan yang terselubung. Tetapi apabila dalam ketentuan internasional belum terdapat standar khusus terkait perlindungan kesehatan manusia yang dimaksud, maka berdasarkan Pasal 3 ayat 5 SPS Agreement, negara anggota dapat menerapkan kebijakan SPS seuai kebutuhannya sendiri dengan catatan bahwa tindakan tersebut terbatas pada; harus didasarkan pada penelitian ilmiah atau risiko, dipergunakan secara terus menerus untuk kasus yang sama, dan tidak digunakan untuk membatasi perdagangan lebih dari yang dibutuhkan. Terkait tindakan SPS, dapat melihat pada sengketa yang sebelumnya telah dibahas, yakni terkait Hormone Beef antara EC v. US 1998, pada tingkat banding, Appellate Body menegaskan bahwa perlunya diadakan bukti ilmiah sebagai salah satu prasyarat penerapan SPS Measure adalah untuk menyeimbangkan antara perdagangan internasional dengan perlindungan kehidupan dan kesehatan manusia. Pada contoh lain yaitu sengketa antara China v. US US-Poultry, dalam putusannya Panel menetapkan bahwa kebijakan SPS harus diimplementasikan berdasarkan bukti ilmiah dimana bukti ilmiah tersebut harus dapat menunjukkan hubungan rasional antara kebijakan SPS dan penilaian risiko yang terjadi terkait perlindungan pada kesehatan manusia. 3. TBT Measure sebagai perlindungan public health Dalam upaya melindungi public health suatu negara dapat pula menerapkan hambatan perdagangan yang berhubungan dengan standar khusus suatu produk sebagaimana ditetapkan dalam Technical Barriers to Trade TBT. WTO mengatur masalah TBT dalam TBT Agreement yang berisi mengenai hak bagi negara anggota untuk dapat menerapkan peraturan mengenai standar teknis terhadap semua produk yang hendak masuk ke dalam wilayahnya, termasuk produk industri dan pertanian. Peraturan teknis yang dimaksud sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 1 TBT Agreement, yaitu semua 84 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 dokumen yang berkaitan dengan karakteristik produk atau yang berkaitan dengan metode dan proses produksi, termasuk ketentuan terkait administrasi dimana penerapannya adalah wajib bagi produsen, importir atau exporter yang mencakup terminologi barang, simbol, pengemasan, pelabelan sebagai persyaratan dan metode yang ditetapkan sebagai proses produksi. Tidak berbeda dengan ketentuan dalam SPS Agreement, tujuan diperbolehkannya tindakan berupa TBT adalah untuk melindungi keamanan dan kesehatan manusia, kehidupan dan kesehatan hewan dan tanaman, termsuk lingkungan. Selain itu, TBT juga bertujuan sebagai pemenuhan persyaratan keamanan nasional dan pencegahan praktik penipuan dalam perdagangan. Seperti ketentuan terkait pelaksanaan hambatan perdaganagan pada umumnya, dalam melaksanakan TBT, hendaknya negara tersebut wajib menjamin bahwa kebijakan pemerintah terkait TBT diterapkan secara nondiskriminatif dan tidak semena-mena. Pelaksanaannya juga harus transparan agar tidak menimbulkan hambatan perdagangan yang terselubung. Prinsip transparansi ini terdapat dalam Pasal 2 ayat 9 TBT Agreement, sehingga setiap negara yang menetapkan peraturan teknis harus mengumumkannya kepada semua mitra dagang. Berdasarkan pada sengketa antara EC-Asbestos v. Canada dan sengketa antara EC-Sardines v. Peru, Appellate Body menetapkan beberapa peraturan terkait syarat peraturan teknis berdasarkan TBT Agreement, yaitu; a. Dokumen harus diterapkan terhadap produk atau sekelompok produk yang sebelumnya telah diidentifikasi; b. Dokumen harus memuat satu atau lebih karakter produk, baik karakter yang secara intrinsic terlihat atau karakter tersebut hanya berkaitan dengan salah satu unsur dalam produk yang dapat ditentukan baik positif atau negatif; c. Kewajiban dalam memenuhi penerapan karakter dari produk sebagai bagian dari peraturan teknis. Pelaksanaan hambatan perdagangan melalui TBT yang ditujukan sebagai perlindungan public health, dapat diterapkan melalui berbagai kebijakan, salah satunya yaitu dengan cara PPM Process Production Methods. PPM dapat dikatan sebagai hambatan yang mewajibkan setiap produk untuk memberikan label pada produknya yang memuat informasi tentang dampak kesehatan dan bahkan terhadap lingkungan kepada produsen atau konsumen produk, ketentuan ini dapat disebut sebagai labeling. Labeling dapat berisi tentang karakteristik dan kondisi suatu produk yang nantinya dapat dijadikan pertimbangan oleh para konsumen ketika hendak menggunakan atau mengonsumsi produk tersebut. Sebagaimana dalam kasus Indonesia v. California, dimana pada tahun 2015 Produk Tolak Angin dari Indonesia mendapat label “Warning” di California yang bertuliskan “Prop 65 Warning”. Maknanya yaitu Tolak Angin yang berasal dari Indoensia dianggap mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia, seperti kanker, gangguan janin, dan keahmilan. Pelabelan ini merupakan kebijakan TBT yang diterapkan oleh California pada setiap produk yang mengandung bahaan kimia. Indonesia menganggap pelabelan “warning” yang dilakukan oleh Caliornia merupakan hambatan perdagangan yang terselubung. Tetapi California menyatakan bahwa ini bukan sebuah hambatan perdagangan yang terselubung, pelabelan “warning” ditujukan untuk melindungi public health sesuai dalam ketentuan TBT Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 85 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Agreement dan Pasal XX b GATT 1994. Kebijakan label “Prop 65 Warning” justru dianggap sebagai toleransi kepada produsen agar tetap dapat memasarkan produknya walaupun dianggap mengandung bahan kimia berbahaya. Karena menurut California pilihan terakhir tetap berada pada konsumen mau mengonsumsi atau tidak. 4. Perlindungan Public Health dalam Perdagangan Jasa Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk melindungi public health di masa pandemi terkait aktivitas perdagangan internasional tidak hanya dapat dilakukan melalui lalu lintas perdagangan barang. Tetapi perlindungan kesehatan masyarakat juga dapat dilakukan dengan melakukan beberapa ketentuan atau syarat khusus terhadap lalu lintas orang, khususnya dalam perdagangan jasa. Mengingat bahwa manusia merupakan agen pertama pembawa penyakit yang secara cepat dapat menularkan penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain sesuai lokasi keberadaannya. Terkait aktivitas perdagangan jasa yang terdapat dalam GATS, pada dasarnya sama halnya dengan ketentuan yang diatur dalam GATT 1994. Dalam GATS juga terdapat prinsip-prinsip dasar perdagangan internasional yang wajib dipenuhi, seperti Most Favourd Nation, National Treatment, Transparancy, Non-Discrimination, dan sebagainya. Akan tetapi dalam beberapa kondisi GATS juga memperbolehkan suatu negara untuk menangguhkan atas kewajiban-kewajiban dalam melakukan perdagangan internasional apabila dihadapkan dalam kondisi tertentu, hal ini masuk dalam ketentuan pengecualian GATS. Pengaturan terkait ketentuan pengecualian GATS terdapat dalam Pasal XIV, dengan bebrapa kriteria yang sama dalam Pasal XX GATT 1994. Dalam Pasal XIV GATS ketentuan pengecualian yang dapat diterapkan bagi negara anggota untuk melindungi public health terdapat dalam Pasal XIV b GATS. Pasal tersebut menyatakan bahwa tindakan pengecualian dapat diterapkan sebagai keperluan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan. Dalam menerapkan tindakan pengecualian ini, negara harus tetap mengadopsi prinsip-prinsip dasar perdagangan, seperti transparency, dan diwajibkan tidak melakukan kebijakan secara diskriminasi dan sewenang-wenang terhadap negara anggota lain agar tidak menimbulkan hambatan perdagangan jasa secara terselubung. Sebagaimana dalam penerapan Pasal XX GATT, penerapan Pasal XIV GATS juga harus memerhatikan beberapa syarat apabila ingin menerapkannya untuk melindungi public health. Jika suatu negara hendak melakukan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dalam bidang perdagangan jasa dengan menerapkan Pasal XIV b, maka negara tersebut hendaknya melakukan “two tier analysis”. Maksudnya yaitu, pertama tindakan tersebut apakah telah termasuk dalam salah satu ketentuan yang terdapat dalam Pasal XIV GATS. Kedua apakah terdapat kausalitas antara ukuran dan kepentingan yang dilindungi, mengingat dalam Pasal XIV GATS menggunakan istilah “berkaitan dengan” dan “digunakan untuk”, maka hal ini dapat dijadikan ukuran yang harus dipertimbangkan apakah tindakan negara anggota telah memenuhi syarat untuk dapat menerapkan Pasal XIV GATS. 86 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Simpulan Pada prinsipnya penerapan hambatan-hambatan dalam perdagangan barriers to trade adalah sebuah inkonsistensi dari kesepakatan liberalisasi perdagangan dalam WTO. Pandemi global yang terjadi ditengah kondisi liberalisasi pasar yang kian meningkat, merupakan masalah yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan manusia, sehingga penerapan barriers to trade atau hambatan dalam perdagangan internasional adalah kebutuhan yang mendesak. WTO memperkenankan suatu negara melakukan kebijakan yang sifatnya sebagai hambatan perdagangan internasional. Pada umumnya baik perdagangan barang atau jasa, hambatan yang diterapkan berupa hambatan tarif tariff barriers dan hambatan nontarif non-tariff barriers, seperti pemberian kuota, hambatan lisensi, pembatasan, bahkan diatur pula hambatan terkait SPS dan TBT. Akan tetapi hambatan perdagangan tidak dapat begitu saja diterapkan oleh negara-negara anggota WTO. Karena WTO juga memberi syarat-syarat tertentu bagi negara untuk dapat menerapkan hambatan perdagangan, salah satunya bertujuan untuk melindungi public health. WTO telah menyediakan peraturan-peraturan berupa hambatan perdagangan yang dapat diterapkan dalam menjembatani liberalisasi perdagangan apabila terjadi kondisi tertentu yang dihadapi oleh negara bahkan dunia. Dalam masa pandemi ketentuan-ketentuan dalam WTO yang berhubungan dengan hambatan perdagangan sebagai upaya perlindungan kesehatan manusia dapat diterapkan. Suau negara dapat menangguhkan kewajibannya terhadap perdagangan jasa dengan tujuan untuk melindungi public health terdapat dalam Pasal XX ayat b GATT 1994. Perlindungan terhadap kesehatan masyarakat juga diatur secara khusus dalam ketentuan SPS Agreement dan TBT Agreement juga terdapat ketentuan yang memperbolehkan suatu negara menerapkan hambatan SPS dan TBT sebagai upaya perlindungan public health. Pengaturan lain yang diperbolehkan dalam tindakan hambatan perdagangan yaitu dalam ketentuan GATS General Agreement on Trade in Services. Sama halnya dengan ketentuan dalam GATT 1994, GATS juga mengatur penangguhan kewajiban bagi negara anggota yang hendak melakukan proteksi terhadap public health. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal XIV ayat b GATS. Dalam menerapkan hambatan-hambatan perdagangan internasional yang bertujuan unuk melindungi kesehatan masyarakat, negara harus tetap mengadopsi prinsip-prinsip dasar perdagangan, seperti transparency, nondiskriminasi, dan tidak sewenang-wenang terhadap negara anggota lain agar tidak menimbulkan hambatan perdagangan jasa secara terselubung. Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 87 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Daftar Rujukan Adolf, Huala. 2006. Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Mengenai Tarif dan Perdagangan. Jakarta Badan Iblam. Aria, Pingit. 2020. Virus Corona dan Lima Pandemi Paling Mematikan di Dunia. Katadata News and Research. amp/ paling-mematikan-di-dunia. Biro Hukum Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2012. Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Buku Saku Kementerian Kesehatan. 2005. Panduan Petugas Kesehatan tentang International Health Regulation IHR. Jakarta Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pelestarian Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Desta, Melaku Geboye. 2020. Covid-19 and Export Restrictions; the Limits of International Trade Law and Lessons for the AfCFTA. Djelantik, Sukawarsini. 2020. Kerjasama Global Menangani The Great Lockdown Pendekatan Diplomasi Multijalur. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Edisi Khusus. Eurasianet. 2020. Kyrgyzstan Limits Livestock, Food Exports TO Avert Shortage. Fuady, Munir. 2004. Hukum Dagang Internasional Aspek Hukum dari WTO. Bandung Citra Aditya Bakti. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. 2020. Peta Sebaran Covid-19, situasi-virus-corona/. Hardono, Gatot S., dkk. 2004. Liberalisasi Perdagangan Sisi Teori, Dampak Empiris dan Prespektif Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Argo Ekonomi. Vol. 22, No. 2. Hata. 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung Refika Aditama. Hata. 2016. Hukum Ekonomi Internasional IMF, World Bank, WTO. Malang Setara Press. Juniman, Puput Tripeni. 2020. Penyakit Lintas Negara Meningkat, WHO Pertemuan Rapat di Bali. CNN Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 2019. Fungsi Kesehatan Masyarakat Public Health Functions DAN Health Security. Direktorat Kesehatan 88 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 dan Gizi Masyarakat Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Pembangunan Perencanaan Nasional/Bappenas, Jakarta. Korah, Revy S. M. 2016. Prinsip-Prinsip Eksistensi General Agreement on Tariff and Trade GATT dan World Trade Organization WTO dalam Era Pasar Bebas. Jurnal Hukum Unsrat, Vol. 22, No. 7. Maryansyah, Rizki. 2018. Hambatan-Hambatan Non-Tarif Perdagangan Internasional dalam Impor di Indonesia. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2015. Penelitian Hukum. Jakarta Kencana Pernadamedia Grup. Pedoman Interim World Health Organization. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut ISPA yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi. Jenewa World Health Organization. Putri, Stephanie, dkk. 2014. Framework Convention on Tobacco Control sebagai Upaya Perlindungan Kesehatan dalam Konteks GATT. Diponegoro Law Journal, Vol. 3, No. 2. Rezkisari, Indira. 2021. Kamboja Temukan Daging Kerbau Beku India Positif Covid. Republika. S., I Wayan Titib dan A. Indah Camellia. 2012. Pelaksanaan Kedaulatan Negara Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam Melalui Mekanisme Persyaratan Perdagangan. Yuridika, Vol. 27, No. 27. S., Laurensius Arliman. 2018. Peranan Metodologi Penelitian Hukum di dalam Perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Soumatera Law Review, Vol. 1, No. 1. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures Satriana, Djoni. 2016. Pengaturan Perdagangan Jasa dalam Hukum Ekonomi Internasional. Jurnal Surya Kencana Dua Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan. Vol. 5 No. 1 Juli 2016. Sutanto, Marco Cahya. 2015. Konsistensi Hukum World Trade Organization WTO Mengenai Prinsip Most Favored Nation MFN atas Regionalisme dan Pandangannya Terhadap Asean Economic Community AEC. Veritas et Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol 1, No 2. Syawfi, Idil. 2020. Implikasi Pandemi Covid-19 Terhadap Hubungan Internasional Menuju Dunia Paska Liberal. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Edisi Khusus. Agreement on Technical Barriers to Trade. Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 89 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Wartini, Sri dan Risky Edy Nawawi. 2015. Penerapan Metode Proses Produksi dalam Perdagangan Internasional untuk Perlindungan Lingkungan dan Kesehatan. Jurnal Media Hukum, Vol. 22, No 1. Wartini, Sri. 2007. Implementasi Prinsip Kehati-Hatian dalam Sanitary and Phytosanitary Agreement, Studi Kasus Keputusan Appellate Body WTO dalam Kasus Hormon Beef antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vo. 14, No. 2. Widyanigrum, Gita Laras. 2020. WHO Tetapkan Covid-19 sebagai Pandemi Global, Apa Maksudnya?. National Geographic Indonesia. World Health Organization Regional Office For Europe. 2012. Public Health Services. European Action Plan for Strengthening Public Health Capacities and Services. World Trade Organization. 2020. DS34 Turkey - Restrictions on Imports of Textile and Clothing Products. World Trade Organization. 2020. COVID-19 Measures affecting trade in goods. english/tratop_e/covid19_e/ ResearchGate has not been able to resolve any citations for this and Production Methods PPMs are the subject of one of the most complicated controversies in the debate over international trade and protection of the environment and human health. The issue of PPMs actually is not prohibited under the WTO system. There are some cases which may become evident to prove that PPMs is permisible in WTO system. However, PPMs for some rasons can be used as a tool of disguise protectionism by the developed countries. Unfortunately, a developing country finds difficulty to challenge it. The article emphasizes in a weighty examination of the two issues , namely iWhat are the justifications of process and production method PPMs to implement in international trade? ii What are the legal implication of PPMs in international trade to the protection of the environment and the human health ? The research method is qualitative and the approach of the research is normative. The research finds that the implementation of PPMs to some extend are justifiable in international trade to the extent that comply with the provisions of the General Agreement on Tariffs and Trade GATT, the Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures SPS, and the Agreement on Technical Barriers to Trade TBT Cahya SutantoIn 2015, Indonesia and other ASEAN members have a commitment to establish a single market region, free flow of goods and service, termed ASEAN Economic Community hereinafter AEC’. This arrangement is contrary to Most Favored Nation MFN principle under the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, hereinafter GATT’. This paper aims to address the said violation according to the WTO/GATT law by analyzing 1 the general obligations and exceptions under the WTO/GATT, 2 regionalism in general and its existence in Southeast Asia, and 3 the interpretation of WTO’s compromise to regionalism. Under the GATT, there is a general obligation for members to treat their trading partners equally and give the same benefits to other members. However, there is an exception to this principle under article XXIV of the GATT, which based on the notion that regional trade agreements are a building block for multilateral openness. Yet, before applying this exception to the case at hand, AEC’s form must be determined. AEC’ has a structure of Free-Trade Area hereinafter FTA’ with a single market adhere to it, which according to WTO’s database there is one in force at the moment, namely ASEAN Free Trade Area hereinafter AFTA’. AFTA is not the equivalent to AEC because it covers more than just goods. Thus, the answer to apply the exception to AEC is inconclusive because even though it fits normatively, it does not have the necessary Sroe HardonoHandewi Purwati SaliemTri Hastuti Suhartinistrong>English Domestic market deals with liberal global market as the consequence of Indonesia as an open economy. Liberalized market is due to unilateral policies and the results of ratifying regional and international trade agreements including both tariff and non-tariff. Perspective of food security in the era of trade liberalization is characterized by increased food supply from import market. It is necessary to implement policies to supply food produced domestically in order to improve decreasing performance of national food security, to conduct food trade and marketing without harming the farmers, and to establish law enforcement to protect domestic food market and interests of the parties involved in the trade and marketing activities especially the food-producing farmers. Indonesian Sebagai negara ekonomi terbuka open economic situasi pasar domestik di Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut dapat terjadi karena kebijakan unilateral dan konsekuensi keikutsertaan meratifikasi kerjasama perdagangan regional maupun global yang menghendaki penurunan kendala-kendala perdagangan tarif dan nontarif. Perspektif ketahanan pangan dalam era liberalisasi perdagangan dicirikan oleh kecenderungan semakin meningkatnya pasok pangan dari pasar impor. Guna menghindari kinerja ketahanan pangan nasional yang semakin buruk diperlukan serangkaian kebijakan yang tetap mendukung prioritas pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, pengaturan perdagangan pangan yang tidak merugikan petani produsen dengan bias konsumen, serta ketegasan penerapan sanksi hukum untuk melindungi pasar pangan domestik dan kepentingan pelaku perdagangan, terutama petani Perdagangan Internasional Persetujuan Mengenai Tarif dan PerdaganganHuala AdolfAdolf, Huala. 2006. Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Mengenai Tarif dan Perdagangan. Jakarta Badan Corona dan Lima Pandemi Paling Mematikan di DuniaPingit AriaAria, Pingit. 2020. Virus Corona dan Lima Pandemi Paling Mematikan di Dunia. Katadata News and Research. amp/ Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pelestarian Lingkungan DepartemenBuku Saku Kementerian KesehatanBuku Saku Kementerian Kesehatan. 2005. Panduan Petugas Kesehatan tentang International Health Regulation IHR. Jakarta Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pelestarian Lingkungan Departemen Kesehatan Republik and Export Restrictions; the Limits of International Trade Law and Lessons for the AfCFTAMelaku DestaGeboyeDesta, Melaku Geboye. 2020. Covid-19 and Export Restrictions; the Limits of International Trade Law and Lessons for the AfCFTA. Global Menangani The Great Lockdown Pendekatan Diplomasi MultijalurSukawarsini DjelantikDjelantik, Sukawarsini. 2020. Kerjasama Global Menangani The Great Lockdown Pendekatan Diplomasi Multijalur. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Edisi Limits Livestock, Food Exports TO Avert ShortageEurasianet. 2020. Kyrgyzstan Limits Livestock, Food Exports TO Avert Shortage.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Saya bukan penggemar drakor maupun band-band Korea yang tenar dan banyak digemari itu. Namun sudah pasti mengagumi perkembangan Pop-Culture dan juga senimatografi di negeri ini, terutama setelah menonton film the tergerak mencari tahu setelah dua minggu lalu membaca artikel cukup menarik tentang fenomena gerakan yang sedang tren di Korea Selatan Korsel NoMarriage yang menentang perkawinan dan hak untuk hidup dan bahagia atas keputusan dan pilihan yang diinspirasi dari kelompok feminisme radikal ini menentang nilai dan norma di masyarakat yang patriarkhis yang masih sangat kuat mengakar di Korsel. Ketika perempuan menjadi seorang istri, ia diharapkan mampu melalukukan segala hal bekerja, mengasuh membesarkan anak, dan merawat mertua yang sudah tua misalnya, tanpa dukungan dan perhatian yang cukup dari komunitas. Mau setinggi pendidikan dan sepintar apapun perempuan, pada akhirnya 'terperangkap' pada urusan yang mematikan potensi besar yang dimilikinya. Konsep yang terdengar tidak asing dengan juga mengkritik keras konsep kecantikan yang dibangun yang berkelindan erat dengan persoalan kekerasan seksual. "Escape The Corset" adalah gerakan yang menentang konsep kecantikan tersebut. Para pengikutnya membagikan video yang kemudian viral, aksi menghancurkan make ini kurang lebih persis seperti gerakan feminisme tahun '60an-'70an dengan slogan yang terkenal "the personal/private is political". Slogan yang menekankan hubungan antara pengalaman pribadi dengan struktur sosial dan politik. Satu hal yang paling dikritik adalah struktur patriarki yang subur terpelihara dalam keluarga. Gerakan NoMarriage dipelopori oleh YouTuber, Baeck Ha-na professional muda yang bekerja sebagai accounting dan pekerjaan sampingan YouTuber di akhir pekan. YouTube channel-nya berbahasa Korea SOLOdarity atau Kehidupan Hidup Sendiri. Mereka punya slogan 4B atau "Empat Tidak" tidak berpacaran, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak. Tidak ada data resmi berapa banyak yang turut dalam gerakan ini, menurut artikel di sini diperkirakan ada 4000-an anggota. YouTube Channel yang menyuarakan ini disebut diikuti oleh puluhan ribu dan norma social yang partiarkhis yang mengakar di masyarakat, dan mensubordinasi perempuan digambarkan pada film yang sedang hit saat Ji-young, Born 1982 -semoga ada kesempatan menonton dalam waktu dekat- yang bercerita tentang perempuan Korsel yang keluar dari pekerjaannya karena menikah dan susah payah membesarkan anak tanpa dukungan yang cukup, namun sebaliknya harus menghadapi tekanan-tekanan soal standar dan norma patriarkhis yang kuat berlaku di review yang saya baca, banyak yang memuji film ini terutama menggambarkan dengan aktual dan kritis situasi yang dihadapi perempuan di Korsel. Disebutkan di artikel ini juga, menurut search engine terkemuka di Korsel, penonton perempuan setelah menonton film ini rata-rata memberi rating 9 point dari 10 sedangkan laki-laki ini membuat pemerintah resah yang sedang menghadapi situasi angka kelahiran anak/bayi paling rendah dan pengurangan dana besar-besaran untuk skema pension, implikasi dari usia produktif yang terus berkurang dan usia tua yang rata-rata melahirkan di Korea Selatan Korsel berada di tingkat bawah negara-negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/Organization for Economic Co-operation and Development OECD di wilayah Asia Pasifik sejak data Bank Dunia, Korsel dan Puerto Rico adalah negara dengan rata-rata kelahiran terendah pada tahun 2017 yaitu tujuh anak-anak per 1000 orang/penduduk. Diikuti oleh Jepang dan Hong angka kelahiran ini sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini terutama perempuan. Belum diketahui persis dampak dari kampanye di atas namun cukup membuat pemerintah semakin khawatir. Laporan penelitian menunjukkan semakin banyak perempuan tidak percaya bahwa menikah adalah keharusan. Tahun 2010, perempuan di Korsel menjawab menikah adalah keharusan, dan 2018 turun menjadi Fenomena sosial dan kebijakan terkait pertumbuhan penduduk ini menarik. Dan saya menemukan artikel bagus yang mengulas tentang kebijakan pengendalian penduduk ini dalam kerangka pembangunan dan perspektif ekonomi di Korsel. Artikel ditulis oleh Sunhye Kim, Postdoctoral Fellow, dapat diunduh dan dibaca di sini. Fokus artikel ini lebih pada teknologi reproduksi sebagai alat untuk mengendalikan populasi dan bagaimana kebijakan kelompok pro-natalist membahayakan kesehatan reproduksi perempuan di Korsel, namun paling tidak cukup membantu kita memahami dinamika yang saat ini terjadi di dan latar belakang singkatKorsel adalah salah satu negara yang menerapkan kebijakan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk sebagi bagian dari pembangunan ekonomi di bawah rejim otoriter dari tahun '60-an sampai '80-an. Sebelumnya menggugurkan kandungan sangat dilarang kecuali pada situasi yang sangat khusus dan diatur pada Undang-Undang Hukum periode ini menggugurkan kandungan dapat diterima bahkan direkomendasikan oleh kelompok kebijakan anti-natalist yang dituangkan pada agenda 5 tahun untuk pembangunan kandungan dilakukan tanpa larangan dan penghukuman dan berjalan selama kurang lebih 50 tahun. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk menerima dana Internasional Asing pada kurun waktu tahun '60-an dan ' kebijakan pengguguran kandungan dapat dikatakan dengan dasar pertimbangan politik dan ekonomi dari pada berhubungan dengan kepercayaan agama maupun landasan berubah drastis pada tahun 2000-an ketika tingkat kelahiran bayi semakin rendah. Pada tahun 2005 mereka menerapkan master plan untuk mencegah pengguguran kandungan yang illegal, semata-mata untuk meningkatkan jumlah pertumbuhan penduduk melalui tahun 2018, pemerintah menambah sanksi bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan pengguguran kandungan selain hukuman kurungan, juga dengan penghentian ijin praktek bagian dari komitmen, the Korean College of Obstetrics and Gynaecology menghentikan kegiatan pengguguran kandungan. Para aktifis feminist melakukan protes dan advokasi untuk pengguguran kandungan yang aman dan pada praktek di lapangan, mereka berpendapat kebijakan ini menyebabkan menjamurnya tindakan pengguguran kandungan yang tidak aman dan membahayakan tahun 2005 juga, pemerintah menerapkan sebuah kebijakan nasional tentang rendahnya tingkat kelahiran di masyarakat yang menua The Framework Act on Low Birth Rate in an Aging Society. Mereka mengalokasikan lebih dari USD 100 billion setara satu trilyun lebih rupiah untuk kebijakan promosi kelahiran dalam rentang 10 tahun dan pengambil kebijakan menyadari bahwa merespon turunnya angka kelahiran penduduk tidak bisa diatasi tanpa kebijakan yang berbasis gender serta memberi perhatian khusus pada ketimpangan antara bekerja dan peran sebagai ibu rumah mendukung upaya kebijakan yang lebih ramah untuk pengasuhan anak, kesehatan sebelum dan paska persalinan yang lebih baik serta work-family balance, hidup yang seimbang antara bekerja dan berumah tangga. President Moon Jae-in menyatakan akan menerapkan kebijakan yang lebih ramah keluarga, dan dukungan kebijakan bagi orang tua ibu pemerintah menerapkan kebijakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya, seperti memperpanjang masa cuti ibu melahirkan dan paternity leaves untuk suami/ayah, dukungan dana bagi pasangan yang tidak subur dan manfaat childcare namun dari sisi indikator kesehatan sepertinya tidak lebih ibu melahirkan dan bayi meningkat, dimana data tahun 2014 menunjukkan rasionya adalah per 100 ribu kelahiran, dimana angka ini tinggi dibandingkan negara-negara OECD dengan rata-rata Dan juga angka berat badan bayi yang rendah meningkat lima kali lipat pada 20 tahun periode dimana promosi kelahiran gencar dilakukan sebagai bagian dari agenda politik yang sangat penting, menterjemahkan kembali indikator kesehatan reproduksi masih merupakan agenda yang tak kalah penting untuk ditinjau ini untuk memastikan kebijakan yang mendukung kelahiran atau pertambahan penduduk memberikan perlindungan kesehatan reproduksi perempuan sebagai hak asasi manusia yang paling Gender adalah Kunci Menumbuhkan kesetaraan gender melalui pembagian peran di dalam keluarga sangat penting terus didorong agar perempuan juga dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Ini temuan dan rekomendasi penting dari laporan International Labor Organization ILO, A Quantum Leap for Gender Equality For a Better Future of Work for All Maret 2019.Secara global, hampir 22% perempuan usia kerja atau sekitar 647 juta melakukan unpaid work pekerjaan rumah tangga, dan yang terkait pengasuhan anak secara penuh waktu dengan tingkat paling tinggi di negara-negara Arab sebanyak 60%. Sebagai perbandingan, hanya 41 juta laki-laki atau dari mereka melakukan unpaid work penuh pekerja juga melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Lebih lanjut lagi, perempuan melakukan lebih dari sepertiga waktunya dan menghabiskan kurang lebih 4 jam, 25 menit setiap hari dibandingkan laki-laki yang hanya 1 jam, 23 menit. Akibatnya, karena situasi ini perempuan seringkali memilih untuk tidak mengambil kesempatan lebih di dunia kerja yang tentu saja akan menghambat sosial yang muncul di Korsel menggambarkan tentang ketimpangan gender yang mengakar di masyarakat. Penolakan keras terhadap institusi perkawinan karena hanya akan mematikan potensi perempuan merupakan perlawanan yang menarik untuk menguji bagaimana norma sosial akan berubah yang kemudian diterjemahkan atau direspon melalui kebijakan publik. Apakah ini berhasil? Kita lihat story dari gerakan sosial di Korsel ini, kesetaraan gender adalah kunci. Sudah seharusnya pilihan menikah atau tidak dilindungi sebagai hak mendasar manusia, baik perempuan maupun laki-laki untuk bebas dari penindasan, diskriminasi, subordinasi. Kebijakan negara diletakkan atas dasar perlindungan hak warga negara yang paling mendasar. Bahagia, sehat dan memaksimalkan potensi memang sudah semestinya menjadi tujuan bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi ini. 1 2 3 4 5 Lihat Sosbud Selengkapnya
- Perkenalkan Raphael Samuel. Bukan, dia bukan Raphael Samuel yang sejarawan Marxis asal Inggris itu. Raphael Samuel yang ini adalah seorang laki-laki berusia 27 tahun asal Mumbai, India, yang menyesal karena telah dilahirkan. Sebab itu, Samuel berniat menuntut orangtuanya karena telah "melahirkannya" tanpa persetujuan darinya. Ajaib sekali, bukan?Hidup Samuel sebetulnya baik-baik saja, bahkan terbilang "luar biasa"-menurut pengakuannya sendiri. Namun demikian, Samuel masih tak dapat benar-benar memahami mengapa di dunia ini ia harus menjalani kehidupan penuh pergolakan. Mulai sejak di sekolah hingga bersusah payah membangun karier. "Saya mencintai orangtua saya, dan kami memiliki hubungan yang hebat, tetapi mereka memiliki saya hanya untuk kesenangan mereka. Hidup saya luar biasa, tetapi saya tidak melihat mengapa saya harus menjalani kehidupan ini. Padahal saya tak meminta semua itu saat dilahirkan oleh ibu. Artinya, ini adalah kesalahan,” ucap Samuel seperti dilansir Times of adalah seorang penganut anti-natalisme. Mengacu pada forum Reddit, /r/antinatalism, kaum anti-natalis adalah mereka yang "memberi cap negatif pada proses kelahiran manusia". Keyakinan itu muncul karena mereka percaya bahwa dunia ini sudah kelewat penuh dengan penderitaan. Karenanya, mereka berpandangan bahwa membiarkan seorang anak lahir dan memaksanya hidup dalam dunia sudah rusak ini merupakan sebuah tindakan imoral. "Saya ingin memberi tahu semua anak bahwa mereka tidak berutang apapun kepada orangtua mereka. Orang-orang India lainnya harus tahu bahwa itu adalah pilihan untuk tidak memiliki anak, dan untuk bertanya kepada orangtua Anda mengapa mereka melahirkan Anda.”pada prinsipnya, mereka menilai eksistensi sebagai suatu hal yang burukBerkunjunglah ke laman Facebook Samuel-tidak sulit mencarinya, cukup ketik saja nama lengkapnya di fitur pencarian-, maka Anda akan melihat berbagai statusnya yang berisi informasi seputar anti-natalisme. Ia cukup rutin membagikan pesan-pesan berbau anti-prokreasi untuk “menyadarkan” teman-temannya di Facebook. Atau simak videonya di Youtube yang berjudul Why Am I Suing My Parents?’.Beberapa pesan tersebut mencakup “Bukankah memaksa anak mendapatkan pekerjaan yang layak sama saja seperti penculikan atau perbudakan?” Atau “Orangtua kalian memilih menjadikan kalian sebagai mainan, dibanding memiliki seekor anjing atau mainan sungguhan. Kalian tidak berutang apapun kepada mereka.” Tinjauan Filsafat dalam Anti-Natalisme Jika ditafsirkan secara ekstrem, mayoritas kaum anti-natalis dapat dianggap mendukung pemusnahan manusia. Sebab pada prinsipnya, mereka menilai eksistensi sebagai suatu hal yang buruk. Pandangan mengenai problematika eksistensi sejatinya tidak baru-baru amat, terutama dalam spektrum menganggap bahwa kehidupan manusia adalah absurditas tak berujung tanpa tujuan akhir dan berarti. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menggunakan alegori Sisyphus untuk menggambarkan absurditas tersebut. Sebagaimana diceritakan dalam mitologi Yunani kuno, Sisyphus dikutuk oleh Zeus untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit untuk kemudian menggelinding kembali ke Camus, alegori tersebut membuhulkan sebuah faktum kesia-siaan kondisi umat manusia jika dilihat dari perspektif semesta. Sebab, jika semua manusia pada akhirnya akan sirna, begitu juga dengan semesta, lantas apa makna segala projek kehidupan yang selama ini telah dikerjakan? Ketidakbermaknaan hidup inilah yang terus menerus dibayangkan Camus dan kerap disimpulkan oleh banyak orang sebagai anjuran untuk bunuh lebih konkret mengenai eksistensi juga menjadi fondasi filsafat pesimisme Arthur Schopenhauer. Menurutnya, eksistensi adalah suatu hal yang buruk dan penuh kekejaman. Dalam On the Vanity and Suffering of Life, ia menggemakan pandangannya dengan lebih suram “Life is a business that does not cover the costs.”- Hidup merupakan bisnis yang tidak menutup memandang, derita yang ada dalam kehidupan manusia melampaui kebahagiaan dan apa yang disebut sebagai kebahagiaan itu pun berarti tidak lebih dari lepasnya rasa sakit. Yang lebih buruk lagi, dunia ini fana alias hanya sementara, maka segala proyek dan tujuan akhirnya akan pudar dimakan waktu. Maka sebab itulah, Schopenhauer menilai semua penderitaan karena kehendak buta blind will manusia itu sendiri. Pun begitu, fondasi filsafat Schopenhauer tidaklah independen. Ia banyak terpengaruh oleh beberapa pemikir penting sebelumnya seperti Immnanuel Kant, Plato, dan Siddharta Gautama Buddha. Kepada Kant, ia mengelaborasikan pandangan metafisis. Dengan Plato, ia “meminjam” pemikirannya mengenai kesenian. Sedangkan pandangan mengenai kehidupan atau moralitas secara esensial banyak ia takik dari pemikiran memandang eksistensi sebagai suatu hal yang tidak memuaskan atau dalam istilahnya sendiri disebut “Dukkha”. Kendati manusia dapat tereinkarnasi menjadi makhluk yang lebih baik, namun tidak ada yang pernah betul-betul memuaskan. Sehingga menurut Buddha. tujuan sejati manusia adalah terbebas dari siklus reinkarnasi itu sendiri, di mana kemudian juga kerap ditafsirkan dengan anjuran untuk mati. Walau sesungguhnya kematian yang dikehendaki justru merupakan ketertundukkan kepada Camus, Schopenhauer, maupun Buddha tidak mengambil posisi eksplisit mengenai pro-kreasi, beberapa pemikir lain ada yang memproklamirkan diri sebagai anti-natalis. Kurnig, sebagai contoh, menulis dalam Der Ne-Nihilismus, bukunya yang terbit pada awal abad 20 sebelum Perang Dunia I dimulai “Saya menganggap kehidupan manusia sebagai sesuatu yang secara keseluruhan tidak menyenangkan, sebagai kemalangan. Orang yang belum lahir tidak akan memintanya. Saya tidak bisa hanya diam dan mengambil peran pasif kala menyaksikan kesengsaraan yang sangat buruk itu.”Demikian pula seperti nama-nama pemikir lain Peter Wessel Zapffe, Théophile de Giraud, Karim Akerma, hingga Thomas Ligotti. Para pemikir ini umumnya beranggapan bahwa membiarkan seseorang masuk ke dalam eksistensi yang buruk ini adalah suatu tindakan yang salah secara moral. Di antara sekian nama pemikir tersebut, ada David Benatar yang pemikirannya dalam buku berjudul Better Never to Have Been The Harm of Coming into Existence, kerap menjadi rujukan kaum anti-natalisme modern. Argumen utama Benatar adalah dengan menunjukkan bagaimana asimetri antara rasa sakit pain dan rasa nikmat pleasure. Secara garis besar, ia beranggapan bahwa anti-natalisme dapat mengurangi, bahkan “menghilangkan”, risiko penderitaan generasi selanjutnya. Maka dari itu, dengan mengatakan bahwa melahirkan merupakan “tindakan immoral yang tidak boleh dilakukan setiap manusia”, Benatar sejatinya tengah menggugah kesadaran manusia sebelum memutuskan memiliki anak. Namun demikian, Benatar tidak sepakat cara pembunuhan atau pembantaian demi mengurangi populasi. Hal itu menurutnya justru menambah 'penderitaan' manusia yang hidup saat ini. Satu-satunya opsi yang bisa dilakukan adalah dengan tidak melahirkan. Sebagaimana dikatakannya “Tidak mungkin sepenuhnya menghilangkan penderitaan manusia tanpa mengakhiri seluruh kehidupan manusia seperti yang kita ketahui. Tapi membunuh satu sama lain dan genosida hanya menambah penderitaan. Kita harus fokus pada membuat kehidupan saat ini semenyenangkan mungkin, sambil memastikan tidak ada generasi selanjutnya yang tunduk pada penderitaan yang dijamin dalam hidup. Karena itu, adalah tidak bermoral untuk melahirkan kehidupan ke dunia ini." Infografik anti natalismeKebijakan Keluarga Berencana KB Mengusung Semangat Anti-Natalis? Dalam kehidupan bernegara, kebijakan dengan semangat anti-natalis diarahkan untuk mengurangi fertilitas. Ada dua pendekatan utama yang digunakan Program Keluarga berencana yang disponsori oleh pemerintah dan pendekatan non keluarga berencana non family planning.Poin program keluarga berencana nasional ditujukan untuk mengurangi fertilitas dengan memberikan peralatan, pelayanan, serta informasi tentang kontrasepsi. Basis argumennya adalah pasangan usia subur yang ingin membatasi besarnya keluarga mereka akan cukup untuk menurunkan rata-rata kelahiran untuk kurun waktu tertentu. Diskusi mengenai hal ini juga perlu didasari pada hak orang tua untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran. Di samping kerelaan untuk mengikuti, keluarga berencana juga diusahakan diterima secara politis karena program ini dapat dipandang sebagai suatu kebijakan kesehatan, yang memiliki keuntungan dalam hal kemanusiaan dan mempromosikan kebebasan individu melalui cara menolong pasangan menentukan jumlah anak yang mereka inginkan. Hanya saja, dengan berbagai hambatan dari faktor agama dan budaya, maka tingkat penerimaan program tersebut acapkali rendah dan akhirnya mengurangi efektivitasnya secara kelemahan pendekatan keluarga berencana dalam menurunkan fertilitas tersebut, yang mana kemudian justru meningkatkan jumlah penduduk, disimpulkan bahwa perlu dilakukan pendekatan yang tidak tergantung kepada keluarga berencana. Pendekatan ini berusaha memengaruhi fertilitas dengan memotivasi orang untuk menginginkan jumlah anak yang lebih kecil. - Sosial Budaya Penulis Eddward S KennedyEditor Nurul Qomariyah Pramisti
Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan Indonesia telah melaksanakan beberapa kali sensus penduduk. Sejak Kemerdekaan, telah dilakukan enam kali sensus penduduk, yaitu sensus penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan terakhir tahun 2010. Sebelum Kemerdekaan, sebenarnya di Indonesia juga pernah dilakukan sensus, yaitu tahun 1920 dan 1930. Pada tahun 1920, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 34,3 juta jiwa dan tahun 1930 mencapai 60,7 juta. Berikut ini data hasil sensus penduduk di Indonesia dalam Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Dari data hasil sensus, diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dikatakan tinggi jika laju pertumbuhan penduduknya mencapai angka lebih dari 2% . Jika angka pertumbuhannya antara 1 dan 2 persen, laju pertumbuhan termasuk sedang. Jika angka pertumbuhan kurang dari satu persen, laju pertumbuhan termasuk rendah. Berdasarkan kriteria tersebut, pada sensus 2010, laju pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong sedang. Sementara itu, negara-negara maju memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah. Namun demikian, ada kecenderungan laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun yang berarti sedang menuju ciri kependudukan negara maju pada umumnya dari Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Setelah melakukan kegiatan di atas, kamu dapat mengetahui bahwa laju pertumbuhan penduduk bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Negara tertentu angka pertumbuhannya tergolong tinggi, sementara yang lainnya tergolong rendah. Bahkan, ada beberapa negara yang angka pertumbuhan penduduknya negatif atau dibawah nol. Jika angka pertumbuhannya negatif, negara tersebut penduduknya tidak bertambah malah berkurang jumlahnya. Adanya perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara satu negara dan negara lainnya menyebabkan setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Sejumlah negara yang laju pertumbuhannya terlalu kecil atau bahkan negatif, berupaya menaikkan angka pertumbuhan penduduknya melalui sejumlah kebijakan yang bersifat pro-natalis. Kebijakan pro-natalis mendukung penduduknya untuk memiliki jumlah anak yang banyak. Contoh negara tersebut adalah Kuwait, Jepang, argentina, brazil, rusia, perancis, jerman, israel dan beberapa negara lainnya. Pada sisi lain, sejumlah negara berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduknya karena jumlahnya terlalu besar dan membebani perekonomian negara. Negara-negara tersebut menerapkan kebijakan yang anti-natalis. Kebijakan tersebut berupaya mengendalikan jumlah penduduk dengan beragam program. Contoh negara yang menerapkan kebijakan ini adalah China dengan kebijakan satu anak one child policy Negara lainnya yang menerapkan kebijakan tersebut adalah Indonesia, Nigeria, India, dan sejumlah negara lainnya dalam Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Program Keluarga Berencana KB mencerminkan kebijakan antinatalis di Indonesia. Program tersebut diharapkan mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Jika laju pertumbuhan terkendali, diharapkan kualitas penduduknya akan makin baik. Negara juga tidak terlalu dibebani karena harus menyediakan lapangan kerja dan fasilitas hidup yang sangat banyak. dengan cara demikian, Indonesia diharapkan dapat lebih cepat menjadi negara maju. Baca Juga Contoh Dari Sebuah Negara Maju Di Dunia Tips Agar Upaya Indonesia Menjadi Negara Maju Karakteristik Negara Indonesia Menjadi Negara Maju di Dunia Demikian Artikel Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Kontribusi Kerja Sama Bidang Ekonomi Bagi Bangsa Indonesia Perkembangan Politik Pada Awal Dari Kemerdekaan Indonesia Lembaga Keuangan Bank Sarana Pendukung Kerja Sama Ekonomi Kontribusi Kerja Sama Bidang Sosial Budaya Bagi Bangsa Indonesia Sarana Dan Media Dari Pewarisan Budaya Indonesia
Ketika pertanyaan tentang dampak keabsahan dari teori Thomas Robert Malthus tentang pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sementara pertumbuhan bahan makanan menurut deret hitung diajukan, National Academic Sience of America NASA membuat kelompok kerja untuk menjawab pertanyaan pertama kali dikoordinasikan oleh Ansley Coale dan Edgar M Hoover dan melihat India sebagai daerah kajian. Kajian pada awal 1960-an membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Berlawanan dengan itu, Julian Simon, ekonom Amerika, membantah bahwa hubungan antara pertumbuhan penduduk terlihat tidak jelas negligible. Rekomendasi dari hasil kajian itu adalah negara berkembang disarankan untuk masuk ke rezim dalam rezim pembangunan, penduduk mesti dikendalikan. Cara pengendalian adalah dengan mengurangi angka kelahiran melalui program keluarga berencana, memajukan pendidikan wanita, dan ekonomi keluarga. Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu ketika Profesor Widjojo Nitisastro, ekonom UI, menjabat ketua Bappenas sejak Repelita II, 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awal periode pertama, Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional, kemudian dilanjutkan ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai prioritas tahap kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia. Jawa dan Bali tercatat sebagai daerah dengan angka kelahiran yang turun lebih cepat dari perkiraan. Sumatera dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah. Tampaknya berbalik ke rezim yang tidak mendapatkan perhatian utama, atau setidaknya menganut berlawanan dengan antinatalis, alias PronatalisDikatakan tidak terarah jelas ketika target angka kelahiran total TFR pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Kenapa? Mari kita simak hasil Survei Demografi Kesehatan IndonesiaSDKI dua seri waktu terakhir. SDKI 2007 dan 2012 merupakan dua informasi terakhir dari data kependudukan di Indonesia. Isi dari keduanya menunjukkan bahwa angka kelahiran, yang dihitung dari rata-rata kelahiran wanita berusia 15-49 tahun, telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita, menjadi 2, pertanda terjadi kenaikan dari angka kelahiran. Temuan demikian sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010, di mana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bagaimana menjelaskan fenomena itu? Beberapa penjelasan diperkirakan dapat dijadikan titik kritis kenapa Indonesia menganut rezim pronatalis, rezim pemerintahan dengan kebijakan kependudukan menggunakan skenario lemah untuk kebijakan mengendalikan desentralisasi pembangunan telah mengurangi arti komando dari kebijakan kependudukan semasa Emil Salim dan Haryono Suyono. Kedua menteri ini telah memberikan perhatian intensif terhadap persoalan kependudukan. Terpusatnya program kependudukan dan keluarga berencana KB dapat menggerakkan dan mengimplementasikan program kependudukan secara intensif. Jangkauan program sampai pada pasangan usia subur PUS, dan menggerakkan para petugas keluarga berencana volunteer di desentralisasi digulirkan, sebagian besar pemerintah daerah tidak mengelola persoalan kependudukan menjadi program penting, tidak seaktif rezim sebelumnya. Boleh dibilang sangat langka pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD untuk kebijakan kependudukan, kecuali peranan dari dinas catatan sipil, karena terintegrasi dengan struktur organisasi di pemerintah masa ini, kalaupun BKKBN masih ada pada level provinsi, corak dan intensitas kebijakan kependudukan relatif sebagai akibat dari yang pertama, target untuk menjangkau pasangan usia subur menjadi tidak begitu terarah. Angka penggunaan kontrasepsi pada kisaran 70 persen memang bisa dicapai. Namun, efektivitas penggunaan alat kontrasepsi menjadi berkurang karena pengguna KB pada umumnya adalah wanita dan berdimensi jangka pendek. Suntik dan pil adalah dua jenis alat kontrasepsi utama jangka pendek, sementara IUD dan kondom relatif sedikit yang menggunakan, apalagi KB kelahiran yang tidak direncanakan, unwanted birth, menjadi relatif masih tinggi. Ketiga, masih belum adanya strategi yang bersungguh-sungguh untuk menjangkau pasangan yang sebenarnya ingin menghentikan kelahiran, unmeet mereka tidak memperoleh pelayanan keluarga berencana. Angka ini sangat nyata dan kelihatan tidak bergerak turun pada dua kurun waktu survei. SDKI 2007 dan 2012 masih menunjukkan angka unmeet need masih berkisar antara 11- 12%.Padahal jika program KB diarahkan pada kelompok ini, sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap penurunan angka InklusifJika tiga persoalan di atas sebagai penjelas negara masuk ke dalam rezim pronatalis, sebenarnya pendirian untuk mengendalikan jumlah penduduk sudah saatnya. Fokus dapat ditujukan pada kelompok pasangan PUS inklusif. Siapa mereka? Mereka adalah kelompok pasangan usia subur yang secara geografis tinggal di daerah yang sulit terjangkau pelayanan petugas keluarga berencana. Mereka mendiami wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, masyarakat pedalaman hutan dan perkebunan, masyarakat tertinggal, perbatasan, miskin, suku terasing, dan kelompok khas yang menganggap banyak anak banyak untuk menjangkau mereka adalah mesti lebih aktif ketimbang reaktif. Berbagai cerita sukses kader KB-KES di lapangan menunjukkan bahwa saatnya untuk melakukan revitalisasi kader KB-KES di daerah-daerah tersulit. Kader direkrut dan berciri integritas yang terbaik. Saat bersamaan fungsi mereka dapat mengangkat kesenangan untuk bekerja melayani sampai ke pelosok-pelosok. Keberadaan kader bekerja sama dengan bidan desa akan menjadikan sebuah gerakan program yang sukses di China bercirikan pada integritas yang tinggi dan memberikan pelayanan yang pasti oleh tenaga medis sampai ke pelosok-pelosok menjangkau keluarga yang berisiko tinggi memiliki angka kelahiran di atas rata-rata. Saat bersamaan pemerintah daerah juga dapat menjadikan program KB terintegrasi dengan program pembangunan lainnya. Sudah saatnya anak-anak mereka untuk memperoleh akses pada layanan khusus saatnya juga keluarga ini memperoleh kepastian dalam setiap program pemberdayaan ekonomi. Sudah saatnya juga kampanye kependudukan diarahkan kepada kelompok ini. Sekiranya ada kepastian diarahkan kepada keluarga ini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan berbalik rezim ini masuk ke dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Kapan? Menunggu kemudahan hati SBY-Boediono atau Besar Ekonomi SDMUniversitas Andalaslns
negara yang menerapkan kebijakan pro natalis